Pertama kali berkunjung dan memutuskan untuk menetap di kota Bandung pada tanggal 28
Agustus 2005, sebelumnya saya tinggal di kota Jakarta. Rencana awal memang untuk tinggal
dan mencari pekerjaan baru, tapi tidak kunjung mendapatkan pekerjaan karena saya tidak
punya ijazah untuk melamar pekerjaan di sektor swasta. Pada akhirnya saya kembali
menjajakan seks demi mendapat kan uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Minggu ke empat di bulan Desember 2005, saya sering bolak balik ke dokter umum yang
praktek di jalan Kalipah apo, kota Bandung. Awalnya saya pikir demam dan mencret biasa,
tapi kok terus-terusan selama dua pekan berturut-turut , setelah kontrol dan berobat hanya
membaik dua hari saja, besoknya berulang kembali dengan gejala yang sama.
Berat badan mulai merosot dari 62 kilogram di akhir bulan Febuari 2006 menjadi 45
kilogram, saya kost di area jalan Pasir luyu, Bandung. Tidak banyak yang bisa dilakukan,
uang sudah habis untuk berobat, mau pulang ke rumah di Subang tidak ada ongkos, hanya
bisa pasrah dan berserah diri kepada tuhan.
Ada pacar yang datang rutin berkunjung ke kosan, setiap hari dia membawa makanan dan
obat warung supaya saya cepat membaik, tapi yang terjadi kondisi kesehatan semakin
memburuk. Dia tidak bisa menemani berlama-lama, karena sudah berkeluarga, setengah hari
saja bersama saya, Handphone disakunya pasti tak berhenti berdering, pertanda istri dan
anaknya gelisah di rumah.
Pernah di malam hari mau buang air ke toilet, kebetulan kamar mandi bersama penghuni
kosan ada di luar semua, jaraknya sekitar 30 meter dari kamar, untuk menuju ke kamar
mandi, saya mengintip dari dalam kamar untuk memastikan tidak ada penghuni lain lalu
lalang, karena kaki sudah lemas, terpaksa merangkak dari kamar menuju toilet.
Berkali-kali bertanya dalam hati, kenapa sakit ini tidak kunjung sembuh, sampai suatu pagi
ada teman namanya Kang Asep Nurjaman, relawan dari Himpunan Abiasa - LSM kesehatan
masyarakat datang mengunjungi ke kosan, dia menawarkan Konseling tes HIV di klinik yang
sudah di rekomendasikan oleh mereka, setelah di berikan informasi HIV, saya langsung
meng-iyakan untuk segera di tes HIV di hari yang sama.
Masih ingat di tanggal 13 Maret 2006, sesampainya di klinik Mawar di jalan Ence azis
Bandung, saya mulai mendaftarkan diri untuk VCT (Voluntary Counselling and Testing atau
bisa diartikan sebagai Konseling dan tes HIV Sukarela (KTS). Selama proses Konseling saya
di bekali pemahaman HIV selama 45 menit oleh petugas Konselor yang bernama Mas Ranto
Prajoko, setelah pengambilan darah untuk pemeriksaan Laboratorium, kemudian di
persilahkan menunggu hasilnya selama 30 menit, sembari di dampingi oleh teman-teman
relawan.
Karena sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, di akhir pos-test Konseling
buka hasil, saya ditanya kembali oleh Konselor, "sudah siap untuk buka hasil?" saya menjawab "ya sudah siap", tegas saya. "Hasilnya REAKTIF" (Positive HIV), Konselor menunjukan hasil
laboratorium, dan saya terdiam selama beberapa detik.
Dalam pikiran yang muncul pertama kali di kepala adalah cepat mati, "tenang ada obat ARV
(Antiretroviral), kamu akan tetap sehat terus selama rutin minum obat itu", Konselor memberikan harapan kepada saya. Perasaan tidak percaya, bingung dan campur aduk yang di
rasa, "Sebentar, saya keluar dulu, nanti akan ada Manajer Kasus (MK) yang bantu kamu
untuk mendampingi selama pengobatan", tidak menunggu lama, orang yang akan
diperkenalkan sudah ada di hadapan saya, namanya Kustantonio.
"Semangat", ucapnya, tak banyak kata-kata yang di keluarkan oleh MK tersebut. Di hari
berikutnya saya kemudian di kontak kembali untuk segera melakukan serangkaian tes
Laboratorium lanjutan di RSU Bungsu, jalan Veteran Bandung.
Setelah keluar hasil Laboratorium (CD4, Thorax, SGOT/SGPT, Creatinin, Anti HCV dll),
sebelum bertemu dengan dokter saya diperkenalkan dahulu kepada perawat yang sangat
menenangkan perasaan saya, dia adalah Konselor untuk Konseling kepatuhan minum obat
ARV, karena sebelumnya memang sudah tahu kalau obat itu harus di minum seumur hidup,
dia bernama Suster Rose.
Sambil memegang tangan saya, "kamu akan baik-baik saja, percaya kepada saya , pengobatan
yang akan di berikan oleh dokter nanti akan membuat kamu panjang umur", dan saya merasa
seperti diberikan harapan setelah berbicara dengannya. Terima kasih Suster Rose terkenang
ketulusanmu dalam membantu kesulitan yang di rasa saat itu, doa terbaik selalu di panjatkan
untukmu di surga.
Bertemu dengan dokter, perasaan tidak lagi galau dan depresi, dia memberikan beberapa
resep obat, salah satunya obat ARV, pertanggal 11 April 2006, untuk pertamakalinya saya
menelan obat ARV.
Stigma dan Diskriminasi terhadap orang dengan HIV saat itu masih sangat kental, sehingga
membuat saya enggan terbuka kepada siapapun, termasuk kepada keluarga dan orang-orang
disekitar saya. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit melewati proses masa-masa
krisis selama menjadi orang dengan HIV, motivasi saya adalah keluarga dan para sahabat
sebaya yang brenasib sama.
Berawal dari Keinginan untuk membantu sesama, mulai dari memberikan informasi
pencegahan dan penularan HIV kepada teman-teman sebaya yang berada di sekeliling saya,
menumbuhkan rasa peduli terhadap kesehatannya dan mengajak mereka untuk melakukan tes
HIV.
Sampai pada suatu hari saya di ajak bergabung sebagai Pendidik Sebaya (Peer Educator), dan
saat ini masih tetap membantu memberikan Edukasi tanpa henti kepada siapapun yang
membutuhkannya.
Merasa bangga di ikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV di kota
Bandung. Terima kasih kepada para sahabat atas dukungan dan ketulusan kalian membantu
berproses, sehingga menjadi berguna untuk orang-orang yang berada di sekeliling saya.
Pengalaman ini di sebut sebagai kado terindah, dimana saya dapat pengalaman dan harapan
untuk tetap semangat melanjutkan hidup sampai hari ini.
Twitter: @iifanauchep

No comments: